Peringkat daya saing Indonesia, sebagaimana yang tercantum pada Global Competitiveness Report (GCR), kembali mengalami penurunan, dari peringkat 37 turun menjadi 41. Artinya, selama dua tahun berturut-turut Indonesia mengalami penurunan peringkat. Sejumlah parameter mengalami penurunan drastis yang akhirnya membuat peringkat daya saing Indonesia turun. Contohnya, peringkat pelayanan kesehatan yang turun 20 peringkat menjadi peringkat ke-100, dan peringkat pemanfatan teknologi yang turun 6 peringkat menjadi peringkat ke-91. Secara keseluruhan, peringkat Indonesia masih di bawah Malaysia (25) dan Thailand (38).

Turunnya daya saing ini seharusnya menjadi peringatan untuk Pemerintahan Jokowi. Sejumlah paket kebijakan ternyata belum cukup efektif memperbaiki daya saing. Hal tersebut terjadi karena paket kebijakan tidak disusun secara sistematis, sehingga dunia swasta tidak benar-benar bisa melihat arah reformasi ekonomi yang sedang dibangun oleh Jokowi. Masalah lainnya yang ternyata masih menjadi kendala utama, yaitu infrastruktur, ternyata belum benar-benar berhasil diatasi. Pembangunan infrastruktur yang acapkali didengungkan oleh Presiden ternyata masih sebatas wacana saja.

Infrastruktur sebatas wacana

Jargon pembangunan infrastruktur yang acapkali digulirkan oleh Pemerintahan Jokowi nampaknya masih sebatas wacana. Pembangunan infrastruktur masih terasa business as usual, bahkan sejumlah indikator menunjukkan kemunduran. Contohnya, peringkat logistik Indonesia, mengalami penurunan dari 53 pada tahun 2014, menjadi 63 pada tahun 2016 (World Bank, 2016). Dimana, salah satu indikator yang mengalami penurunan terbesar adalah kualitas infrastruktur pendukung logistik, yang pada tahun 2014 mencapai 2,92 turun menjadi 2,65 pada tahun 2016.

Laporan GCR juga menunjukkan tren yang serupa. Pada awal masa Pemerintahan Jokowi, peringkat infrastruktur Indonesia berada pada urutan ke-56, sedangkan tahun ini melorot pada posisi ke-60. Secara lebih detail, sejumlah parameter yang membentuk peringkat infrastruktur juga mengalami penurunan. Seperti kualitas jalan (turun 3 peringkat) dan kualitas supply listrik (turun 5 peringkat).

Turunnya peringkat infrastruktur ini seharusnya menjadi warning bagi Pemerintah untuk lebih serius dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur bukan hanya menjadikannya sebatas jargon. Pembangunan infrastruktur saat ini tidak hanya menjadi isu nasional tetapi juga isu internasional. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh McKinsey (2016), investasi infrastruktur dunia setiap tahunnya mencapai USD 2,5 Triliun, akan tetapi kebutuhan investasi infrastruktur untuk menjaga pertumbuhan mencapai USD 3,3 Triliun setiap tahunnya. Gap investasi infrastruktur ini dikhawatirkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Lebih lanjut, McKinsey memperkirakan negara-negara berkembang membutuhkan setidaknya 60 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar USD 1,98 Triliun per tahun.

Anggaran Jauh dari Harapan

Indonesia butuh menggenjot pembangunan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan dan meningkatkan daya saing. Akan tetapi, realisasinya selama dua tahun terakhir masih jauh dari harapan. Anggaran Pemerintah Pusat untuk belanja modal memang meningkat tajam seiring dikuranginya subsidi energi, akan tetapi kemampuan penyerapannya masih jauh dari harapan. Realisasi belanja modal pada APBN 2015 hanya mencapai 78 persen.

Jika melihat data realisasi, memang terjadi peningkatan hingga 46 persen dibandingkan tahun 2014, atau meningkat dari Rp 147 Triliun menjadi Rp 215 Triliun. Akan tetapi peningkatan tajam ini lebih karena realisasi belanja modal 2014 yang kelewat rendah, atau mengalami kontraksi sebesar 18,33 persen dibandingkan realisasi 2013 yang mencapai Rp 180 Triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, maka pertumbuhan realiasi belanja modal 2015 hanya sebesar 19,4 persen. Angka ini pada dasarnya cukup rendah, mengingat rata-rata pertumbuhan realisasi belanja infrastruktur pada periode 2010-2013 mencapai 25,2 persen. Sehingga, pertumbuhan realisasi yang hanya sebesar 19,4 persen justru sebuah langkah mundur.

Realisasi hingga Juli 2016 pun belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Data menunjukkan realisasi belanja modal baru mencapai Rp 49 Triliun, atau baru mencapai 16 persen dari APBNP 2016. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 18,9 persen.

 

Sejumlah Problem

Minimnya realisasi infrastruktur ini disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti keterlambatan lelang, permasalahan pengadaan lahan, hingga pembiayaan. Skema Public Private Partnership (PPP) yang sudah dikembangkan selama satu dekade terakhir terlihat jalan di tempat.

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, Pemerintah harus memperkuat perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur. Pemerintah memang menganggarkan belanja infrastruktur dalam jumlah besar, akan tetapi perlu diingat terdapat batasan kapasitas aparatur negara dalam melaksanakan infrastruktur. Menambah Rp 100 Triliun dalam belanja infrastruktur belum tentu efektif karena penyerapan akan sulit. Oleh sebab itu, perlunya Pemerintah membuat perencanaan proyek infrastruktur yang lebih matang.

Tingkat kesiapan proyek (project readiness) seharusnya menjadi kunci dalam penentuan proyek prioritas. Dimana, kesiapan proyek infrastruktur dapat dilihat dari kesiapan lahan dan pembiayaannya. Selain itu, pendekatan regional dan sectoral harus diterapkan, sehingga Pemerintah bisa lihat pada satu wilayah tertentu, terdapat sektor apa saja dan membutuhkan infrastruktur apa. Apabila sektor pada wilayah tersebut membutuhkan (seperti pembukaan kawasan industri baru), maka pembangunan infrastruktur pada wilayah tersebut harus menjadi prioritas.

Leave a comment