Argumen terkait urgensi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) mengalami sedikit pergeseran. Dari argumen kebutuhan anggaran menjadi argument dana repatriasi. Repatriasi dana sendiri dapat didefinisikan sebagai kembalinya dana yang semula ditempatkan di luar negeri ke Indonesia. Titik tembak Pemerintah adalah dana-dana tersebut dapat menggerakan perekonomian Indonesia yang saat ini sedang dilanda kelesuan. Diharapkan, keuntungan dari bergeraknya perekonomian tersebut dapat lebih besar dari besarnya biaya dari kebijakan pengampunan pajak.

Pengampunan pajak jelas memiliki segudang biaya yang selama ini acapkali dipinggirkan. seperti pertama, biaya administrasi pelaksanaan kebijakan, kedua biaya hilangnya tambahan pajak (karena amnesti) dan ketiga, biaya dari menurunnya kepatuhan pajak karena rusaknya kredibilitas Pemerintah akibat kebijakan ini (Brogne&Baer, 2008, Luitel&Tosun, 2014). Khusus untuk biaya hilangnya potensi pajak, berdasarkan kalkulasi Polii (2016), mencapai Rp 898 Triliun.

Sejumlah penelitian terkait kebijakan pengampunan pajak jelas menyatakan jika ingin kebijakan pengampunan pajak berjalan dengan maksimal, maka aturan perpajakan harus diperkuat, hukuman diperberat, dan monitoring (data perpajakan) harus kredibel. Oleh sebab itu, wajar apabila reformasi perpajakan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukannya pengampunan pajak. Terlebih, tahun depan Indonesia sudah tergabung dalam AEOI, sehingga Indonesia dapat mengakses data dari berbagai negara. Lalu, untuk apa terburu-buru harus melaksanakan pengampunan pajak tahun ini?apa urgensinya?

Argumen dasar dari repatriasi adalah dana tersebut dapat menggerakan perekonomian Indonesia yang sedang melambat. Pada dasarnya tidak ada yang salah pada argumen tersebut. Akan tetapi, yang jadi pertanyaan adalah apakah perekonomian Indonesia sedang membutuhkan dana (likuiditas), atau justru sebaliknya, Indonesia malah mengalami kelebihan likuiditas.

Kondisi likuiditas Indonesia

Indonesia saat ini justru sedang mengalami tren peningkatan likuiditas. Pada pertengahan 2015, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami kelebihan likuiditas, dimana hal tersebut terlihat dari menumpuknya dana di overnight facility BI yang mencapai Rp 240 Triliun, dan di deposit facility BI yang mencapai Rp 110 Triliun.

Data terbaru juga mendukung pernyataan tersebut. Rata-rata suku bunga PUAB (pasar uang antar bank) mengalami penurunan dari 6,00 % di Triwulan-IV 2015 menjadi 5,2% di Triwulan-I 2016. Hal ini juga diikuti dengan turunnya volume PUAB dari Rp 79,21 Triliun menjadi Rp 73,26 Triliun. Selain itu, spread suku bunga max-min PUAB O/N pada Triwulan-I 2016 mengalami penurunan menjadi 15 bps (Bank Indonesia, 2016). Turunnya suku bunga dan volume PUAB merupakan dampak dari ekses likuiditas. Uang yang tersedia semakin banyak, sehingga kebutuhan untuk meminjam uang antar bank semakin rendah, yang pada akhirnya menurunkan suku bunga dan volume PUAB.

Sama halnya dengan kekurangan likuiditas, kelebihan likuiditas dapat menjadi masalah bagi perekonomian suatu negara. Secara umum, kelebihan likuiditas dapat menyebabkan kebijakan moneter menjadi tidak efektif, terutama karena dapat menyebabkan inflasi. Selain itu, kelebihan likuiditas memaksa Bank Sentral untuk menyerap dana tersebut melalui berbagai instrument yang mereka punya (SBI), dan pada akhirnya menjadi beban bagi Bank Sentral (karena harus membayar beban bunga) (Bathaluddin, Adhi&Wahyu, 2012). Lebih lanjut, dalam papernya, Bathaluddin, Adhi & Wahyu (2012) juga berargumen bahwa kelebihan likuiditas membuat perbankan malas untuk menyalurkan kredit dan memilih untuk menempatkan dana pada instrumen moneter. Hal tersebut membuat biaya kredit sektor riil semakin meningkat, dan pada akhirnya membuat perekonomian semakin lesu.

Lesunya perekonomian, melambatnya pertumbuhan, serta rendahnya permintaan masyarakat, membuat peran intermediasi perbankan menjadi lebih sulit. Perbankan semakin sulit menyalurkan kredit, dikarenakan permintaan masyarakat semakin rendah. Selain itu, kondisi pasar lesu, membuat perbankan menjadi ragu untuk menyalurkan kredit, karena resiko gagal bayar menjadi lebih tinggi. Kombinasi hal tersebut membuat penyaluran kredit menjadi lebih sulit. Semenjak pertengahan 2013, pertumbuhan kredit perbankan terus mengalami tren penurunan. Pada Triwulan I-2016, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,71% (yoy) atau turun jauh dibandingka Triwulan I-2015 yang mencapai 11,28% (yoy).

Kelebihan likuiditas tentu akan memperkeruh suasanya. Bayangkan saja, apabila bank menerima likuiditas dalam jumlah besar, tentu dana tersebut harus diputar kembali ke dalam sektor yang produktif (seperti pinjaman), sehingga perbankan dapat membayar beban dari dana tersebut (contohnya membayar bunga deposito). Apabila penyaluran kredit sulit lantaran pasar sedang lesu, maka Bank akan menanggung penuh beban bunga deposito tersebut. Untuk menghindari hal tersebut, maka bank akan cenderung mengambil aman dan menaruh kelebihan likuiditas tersebut ke instrumen moneter ataupun obligasi Pemerintah. Dampaknya adalah penyaluran kredit ke sektor riil akan semakin terbatas, menambah beban pembiayaan bagi sektor riil, dan pada akhirnya semakin memperlambat pertumbuhan perekonomian.

Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan oleh BI, kebijakan pengampunan pajak, apabila dilaksanakan Juni 2016, akan mampu menarik dana sebesar Rp 560 Triliun. Guyuran dana sebesar tersebut tentu perlu dipikirkan bagaimana pengelolaannya dan apakah pasar di Indonesia dapat menyerapnya. Bank Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka akan menyiapakn berbagai instrument guna menyerap dana repatriasi, salah satunya yang mereka sebut special deposit account yang akan dijalankan oleh bank-bank BUMN. Kebijakan ini tepat, dalam konteks untuk memastikan dana tersebut tetap mengendap di perekonomian Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut tidak cukup, karena agar tidak menjadi beban dana tersebut harus disalurkan ke sektor riil.

Sejumlah usulan diajukan untuk memastikan dana tersebut dapat tersalur ke sektor riil, seperti penerbitan obligasi infrastruktur maupun obligasi pembiayan properti. Akan tetapi untuk itu diperlukan waktu persiapan dan memperkuat institusi pelaksananya. Selain itu, walaupun Pemerintah sedang menggalakkan berbagai proyek infrastruktur, pembangunan infrastruktur acapkali masih terhambat oleh berbagai permasalahan pembebasan lahan. Sehingga pembangunannya masih banyak yang terhambat.

Timing menjadi kunci disini. Pemerintah terlihat terburu-buru untuk melaksanakan kebijakan Pengampunan Pajak. Selain kondisi institusi perpajakan yang masih jauh dari siap dan AEOI yang sudah di depan mata, kondisi sektor keuangan nampaknya juga belum siap untuk menampung dana repatriasi yang digembor-gemborkan oleh Pemerintah. Dalam tulisan saya di Koran Kompas sebelumnya, saya berargumen bahwa kebijakan pengampunan pajak justru tidak dibutuhkan setelah adanya kasus Panama Papers, karena adanya detection shock. Kalaupun Pemerintah dan DPR bersikeras agar kebijakan ini terlaksana, maka harus dilakukan di saat yang tepat. Saat dimana baik institusi perpajakan maupun sektor keuangan Indonesia sudah siap untuk menjalankan kebijakan ini. Untuk saat ini, nampaknya kebijakan pengampunan pajak masih jauh dari dibutuhkan. Urgensi repatriasi yang didengungkan oleh Pemerintah justru dapat memberikan dampak negatif tanpa adanya persiapan yang matang.

Leave a comment