Presiden Jokowi baru saja membacakan pidato nota keuangan dalam rangka penyampaian RAPBN 2017. Perubahan strategi sangat nampak dari postur RAPBN 2017, dari awalnya sangat ekspansif menjadi cenderung konservatif. Target pertumbuhan dicanangkan pada angka 5,3 persen, inflasi 4 persen, dan nilai tukar Rp 13.300. Menariknya, target pendapatan dan belanja sama-sama mengalami penurunan sebesar berturut-turut sebesar 2,7 dan 0,5 persen.

Lebih Rasional

Pada dua APBN pertama era Pemerintahan Jokowi (APBN 2015 dan 2016), berbagai target ditetapkan jauh dari realitas. Hal tersebut sangat merugikan karena pada akhirnya Pemerintah harus melakukan berbagai pengetatan anggaran dan meningkatkan defisit anggaran. Pengetatan anggaran pada tengah tahun tentu dapat menimbul shock pada perekonomian, mengingat 10-12 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia disokong oleh konsumsi Pemerintah. Selain itu, dampak tidak langsung dari defisit adalah crowding out effect, dimana defisit yang dibiayai oleh utang dapat mendorong tingkat bunga, sehingga menurunkan investasi individu maupun swasta.

Berbagai target pendapatan dan belanja mengalami penurunan pada RAPBN 2017. Target pendapatan perpajakan mengalami penurunan cukup signifikan, dari sebesar Rp 1.539 Triliun (APBN-P 2016) menjadi Rp 1.496 Triliun. Hal serupa terjadi pada target PNBP yang Rp 5 Triliun lebih rendah dibandingkan APBN-P 2016.

Turunnya target pendapatan, khususnya berasal dari perpajakan merupakan langkah yang rasional, mengingat kondisi perekonomian yang masih mengalami kelesuan. Turunnya target perpajakan merupakan indikasi dua hal. Pertama, Pemerintah memandang bahwa kondisi perekonomian masih jauh dari harapan di tahun 2017, selain harga komoditas yang diperkirakan masih akan rendah, perekonomian global juga diperkirakan masih akan mengalami kelesuan, terutama karena masih terpengaruh isu Brexit, belum berhasilnya ekspansi fiskal Jepang, ancaman krisis utang China dan belum pulihnya Amerika. Kedua, Pemerintah mencoba melakukan ekspansi fiskal melalui kebijakan pengurangan pajak (tax cut). Pemerintah melakukan ekspansi fiskal melalui pemotongan PPH Badan, peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak ini dapat meningkatkan aggregate demand (permintaan), yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Target rasional ini yang tidak nampak pada dua APBN sebelumnya (2015 dan 2016) yang berturut-turut meningkatkan target penerimaan perpajakan sebesar 34 dan 22 persen. Padahal Pemerintah pun paham bahwa kondisi perekonomian sedang tidak kondusif, sehingga mustahil untuk mendongkrak penerimaan perpajakan secara ekstrim atau jauh lebih tinggi dari pertumbuhan alaminya yang hanya sebesar 10-15 persen. Warning realisasi pendapatan perpajakan Semester-I 2016 yang lebih rendah Rp 11 Triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, nampaknya dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun RAPBN 2017 yang lebih rasional.

Walaupun begitu, terdapat dua bola panas yang perlu jadi perhatian. Pertama terkait target kebijakan pengampunan pajak, kedua membengkaknya angka defisit anggaran. Pada Nota Keuangan RAPBN 2017 tidak dijelaskan secara lebih terperinci mengenai target dari kebijakan pengampunan pajak. Berbeda dengan APBNP 2016 yang secara “optimis” menargetkan pendapatan Rp 165 Triliun dari kebijakan pengampunan pajak, target serupa tidak nampak pada Nota Keuangan RAPBN 2017. Melihat realiasi pendapatan pengampunan pajak per 5 Agustus baru sebesar 0,1 persen, seharusnya Pemerintah jangan berjudi dengan menaruh target pendapatan yang terlewat optimis.

Kedua, target pendapatan mengalami penurunan lebih besar dibandingkan target belanja, akibatnya defisit anggaran yang ditargetkan menjadi lebih besar. Target defisit anggaran pada RAPBN 2017 mencapai Rp 332 Triliun (2,41% dari PDB), lebih tinggi dibandingkan target APBN-P 2016 yang sebesar Rp 297 Triliun (2,35% dari PDB). Selaras dengan hal tersebut, keseimbangan primer pada tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 111 Triliun, meningkat dibandingkan target 2016 yang sebesar Rp 105 Triliun. Lebih lanjut, defisit ini dapat mengecilkan dampak dari ekspansi fiskal yang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Ekspansi fiskal dapat meningkatkan permintaan pasar dan pada akhirnya mendorong industry untuk investasi. Akan tetapi, defisit dapat menurunkan investasi swasta (dan individu) melalui meningkatnya suku bunga.

Momentum Daerah

Satu hal yang menarik dan perlu dicermati adalah perubahan strategi pembangunan sektor infrastruktur dan kesehatan yang awalnya banyak didorong oleh BUMN, menjadi mengandalkan peran Pemerintah Daerah. Anggaran transfer daerah secara umum memang mengalami penurunan sebesar Rp 29 Triliun dibandingkan APBN-P 2016, akan tetapi pada sejumlah pos tertentu justru mengalami peningkatan. Alokasi Anggaran infrastruktur pada RAPBN 2017 mencapai Rp 346 Triliun, mengalami pertumbuhan 9,14 persen. Walaupun begitu, alokasi melalui penyertaan modal negara mengalami penurunan, dari awalnya Rp 36 Triliun (APBNP 2016) menjadi hanya Rp 7,2 Triliun (RAPBN 2017). Di sisi lain, anggaran infrastruktur melalui transfer ke daerah dan dana desa mengalami peningkatan sebesar 51,13 persen, meningkat dari awalnya Rp 88 Triliun menjadi Rp 133 Triliun.

Hal serupa terjadi pada pos anggaran kesehatan. Secara umum, anggaran kesehatan mengalami penurunan sebesar Rp 1,5 Triliun. Akan tetapi, anggaran kesehatan melalui transfer ke daerah dan dana desa mengalami peningkatan sebesar Rp 4 Triliun.

Perubahan postur anggaran tersebut memperlihatkan pergantian strategi Pemerintah, yang awalnya mengandalkan belanja Kementerian/Lembaga dan BUMN, menjadi belanja daerah. Hal ini tentu ada positif dan negatifnya. Sisi positifnya adalah alokasi yang lebih tepat sasaran. Sebagaimana pendapat Oates (1999), salah satu alasan dilaksanakannya desentralisasi adalah efisiensi ekonomi, dimana keputusan tentang alokasi sumberdaya akan lebih sesuai dengan preferensi lokal apabila dilakukan oleh Pemerintahan yang lebih kecil.

Sisi negatifnya adalah kemampuan daerah menyerap anggaran. Kemampuan daerah dalam menyerap anggaran sangat beragam. Data per Juni 2016 menunjukkan bahwa masih ada Rp 220 Triliun dana Pemerintah Daerah yang mengendap di perbankan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah dana transfer tersebut dapat digunakan secara maksimal oleh Pemerintah daerah.

Pemerintah nampaknya berusaha keras memperbaiki kredibilitasnya melalui RAPBN 2017. Berbagai target yang relatif rasional dicanangkan, agar tidak menjadi bumerang di tengah tahun anggaran. Tentunya, sejumlah bola panas perlu diperhatikan, agar pelaksanaan anggaran tetap pada jalur yang diinginkan. Peningkatan peran daerah dalam melaksanakan sejumlah pos anggaran menjadi terobosan kebijakan yang perlu terus diawasi. Kapasitas penyerapan anggaran daerah masih dipertanyakan. Oleh sebab itu, tahun 2017 seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Daerah untuk menunjukkan bahwa mereka dapat berperan lebih dalam pembangunan.

Leave a comment