Menuju akhir sebuah tahun, wajar apabila seseorang merefleksikan dirinya, tentang apa saja yang dia sudah lakukan selama satu tahun ini, apa terget yang belum tercapai dan apa yang akan dilakukan tahun depan. Hal sama, pada dasarnya juga dilakukan oleh Pemerintah. Menjelang akhir tahun, mereka mulai melihat target-targetnya yang belum tercapai, anggaran-anggaran yang belum terserap, hingga mempersiapkan program-program yang akan dilakukan tahun depan.

Terkait target makro, khususnya pertumbuhan. Pada APBN-P 2016, target pertumbuhan ekonomi 2016 mencapai 5,2 persen. Pertumbuhan Q3 yang ternyata hanya mencapai 5,04 persen membuat target tersebut nampak jauh dari harapan. Pada Q-III 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,02 persen, lebih rendah dibandingkan China 6,7 persen, Vietnam 6,4 persen dan Filipina 7 persen. Secara umum, angka ini masih cukup baik mengingat berbagai gejolak yang terjadi tahun ini. Dua sektor yang tumbuh paling tinggi adalah sektor komunikasi dan Jasa keuangan yang berturut-turut tumbuh 9,2 dan 8,83 persen (yoy). Dari sisi pengeluaran, komponen pengeluaran konsumsi lembaga non profit masih tumbuh (yoy) paling tinggi (6,65%) disusul dengan komponen konsumsi rumah tangga (5,01).

Dari sisi konsumsi, pada Q3 2016, pertumbuhan konsumsi cukup stabil pada angka 5 persen. Akan tetapi, Pemerintah perlu waspada karena ada ancaman inflasi harga pangan. Secara umum, inflasi memang rendah, akan tetapi inflasi pangan mencapai 7%. Kebijakan pangan Pemerintah yang sering berubah, impor pangan yang tidak terjadwal karena tersandera kepentingan politik, membuat harga pangan sangat bergejolak selama tahun 2016. Akibatnya, daya beli masyarakat akan tergerus, mengingat pangan merupakan 50% dari belanja masyarakat (kota dan desa). Daya beli turun, maka konsumsi turun, pada akhirnya akan menghantam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Harapan besar berasal dari belanja Pemerintah. Masalahnya, pada Q3-2016 Pemerintah justru melakukan pengetatan anggaran secara mendadak dan penyerapan anggarannya pun masih jauh dari harapan. Terlihat dari realisasi belanja Pemerintah yang hanya 62,7 persen (per September 2016). Wajar apabila, pada Q3-2016, konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan negatif tiga persen. Statemen terakhir dari Pemerintah menunjukkan bahwa akan ada pelonggaran anggaran pada Q4, terutama karena besarnya dana tebusan (Rp 97 Triliun) dari program tax amnesty. Diharapkan, pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan dan belanja dari Pemerintah. Permasalahannya adalah, realisasi belanja modal Pemerintah ternyata masih relatif rendah. Per Oktober 2016, realisasi belanja modal masih pada kisaran 47%, tidak jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Selama dua bulan yang tersisa, Pemerintah paling hanya bisa menyerap belanja modal antara 25-30%, sehingga penyerapan belanja modal 2016 hanya berkisar pada angka 80%. Rendahnya penyerapan belanja modal ini tentu merugikan, tidak hanya sisi konsumsi Pemerintah yang akan tidak optimal, tetapi juga Pemerintah kehilangan potensi multiplier effect dari proyek infrastruktur.

Ekspor dan impor mengalami kontraksi berturut-turut sebesar 1,84% (MoM) dan 8,78% (MoM). Dibandingkan September 2015, ekspor maupun impor sama-sama mengalami penurunan, berturut-turut 0,59% dan 2,2%. Satu hal yang perlu menjadi perhatian dari sisi impor adalah besarnya kontraksi pada impor bahan baku penolong industri dan barang modal. Selama tahun 2016 (Januari-September), impor bahan baku penolong industri dan barang modal mengalami penurunan berturut-turut sebesar 9,8% dan 12,66%. Hal ini patut menjadi catatan serius bagi Pemerintah, karena merupakan sinyal lesunya industri di Indonesia. Lesunya perekonomian global, turunnya domestic demand, menyebabkan industri menahan investasi dan mengurangi kapasitas produksi. Data lain yang menunjukkan tren ini adalah melambatnya pertumbuhan inventori korporasi di Indonesia. Pada periode 2010-2013, pertumbuhan inventori perusahaan di Indonesia berkisar antara 40-60% (yoy). Pada Q-2016, pertumbuhan inventori perusahaan hanya sekitar 5%.

Perkembangan sejumlah sektor produksi juga diperkirakan akan relatif stagnan pada Q4 2016. Hal ini terlihat dari hasil Indeks Tedensi Bisnis (ITB) yang diperkirakan akan mengalami penurunan pada Q4 2016, menjadi 106,29. ITB pada Q3 2016 saja sudah mengalami penurunan dibandingkan Q2 2016, dari 110 menjadi 107. Dari sisi variabel pembentuknya, survey tersebut memperkirakan pertumbuhan Q4 2016 diperkirakan karena adanya tambahan order dalam negeri, harga jual produk dan order barang input, dengan angka indeks berturut-turut mencapai 108,7, 107,8 dan 105,2 (BPS, 2016), sedangkan pada variabel order luar negeri hanya berkisar 98, yang artinya tedensinya cenderung pesimis. Secara sektoral, dari 17 sektor yang di survei, hampir seluruhnya diperkirakan mengalami penurunan tedensi bisnis di Q4 2016. Hanya sektor konstruksi, perdagangan besar dan jasa pendidikan yang mengalami kenaikan. Hal ini cukup masuk akal mengingat pada Q4 setiap tahunnya belanja Pemerintah akan lebih besar dibandingkan 3 kuartal sebelumnya. Sekitar 35-40% belanja Pemerintah dilakukan pada kuartal empat.

Pertumbuhan kredit perbankan mengalami perlambatan. Per September, kredit perbankan hanya tumbuh sebesar 6,35 persen (yoy), sedangkan dana pihak ketiga hanya tumbuh 3,15 persen (yoy). Melambatnya pertumbuhan kredit ini disinyalir karena proyeksi perekonomian yang masih sangat suram untuk beberapa waktu ke depan, selain itu demand masyarakat juga masih relatif rendah. Hal ini membuat produsen menahan investasinya, sehingga kebutuhan akan kredit menjadi menurun. Hal ini juga nampak dari rendahnya kredit yang tidak ditarik (undisbursed loan) yang mencapai Rp 1.256 Triliun.

Harga komoditas masih menjadi harapan untuk mendorong pertumbuhan, tentunya bagi negara berkembang, di sisa tahun 2016. Setelah sekian tahun mengalami pertumbuhan, harga komoditas diperkirakan akan sedikit menguat di tahun 2016. Hal ini berlaku bagi minyak, yang semenjak Januari 2016 sudah mengalami peningkatan harga sebesar 50%, maupun komoditas non-minyak seperti metal dan pertanian yang berturut-turut sudah mengalami pertumbuhan (selama 2016) 12% dan 9%.

Ancaman dari Luar

Gejolak ekonomi global, gejolak politik dalam negeri dan berbagai gejolak lainnya silih berganti menghantam perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 diperkirakan hanya mencapai 5,1 persen, sedangkan pertumbuhan perrekonomian global tahun 2016 diperkirakan hanya 3,1 persen. Isu Brexit, permasalahan utang China, injeksi fiskal Jepang yang belum cukup berhasil, hingga yang terbaru, terpilihnya Donald Trump, membuat kondisi perekonomian global semakin tidak pasti. Untuk negara-negara maju, IMF memproyeksikan hanya akan tumbuh 1,6 persen di tahun 2016, lebih lambat dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 2,1 persen. Negara-negara berkembang di kawasan Asia diperkirakan akan mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan menjadi 6,5 persen (dibandingkan 6,6 persen pada tahun 2015). Hal ini banyak disebabkan karena melambatnya pertumbuhan ekonomi China.

Khusus untuk China, salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, masih berkutat pada reformasi struktural di negaranya dan tumpukan utang yang terlihat semakin mengkhawatirkan. Turunnya demand dari China salah satunya disebabkan oleh upaya China melakukan shifting dari negara yang mengandalkan ekspor dan industri, menjadi negara yang mengandalkan konsumsi dalam negeri dan sektor jasa. Hal ini yang membuat permintaan dari China terus mengalami penurunan. Utang juga menjadi salah satu masalah serius China saat ini. Per September 2016, utang Korporasi di China sudah mencapai 169% dari GDP, atau senilai USD 18 Triliun, dan total utang China sudah mencapai 250% dari GDP.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah melambatnya perdagangan dunia, yang diperkirakan akan tumbuh 1,7 persen, dimana angka tersebut merupakan yang terendah semenjak tahun 2009. Khusus untuk Asia, diperkirakan ekspornya tahun ini hanya akan tumbuh sebesar 0,3%, dimana angka tersebut jauh di bawah rata-rata pertumbuhan 20 tahun terakhir yang mencapai 8%.`

Rendahnya inflasi juga menjadi masalah, terutama untuk negara-negara maju. Pada semester 1-2016, consumer price inflation mengalami sedikit kenaikan menjadi 0,5 persen, dimana hal tersebut diakibat mulai naiknya harga minya. Walaupun begitu, angka tersebut masih jauh dari target yang diinginkan. Negara-negara maju sudah mengalami periode inflasi rendah cukup lama. Inflasi yang persisten, membuat ekspektasi inflasi menjadi semakin tinggi, sehingga membuat ekspektasi real interest rate meningkat dan menurunkan pengeluaran untuk barang modal dan barang tahan lama (durable goods). Apabila hal ini berlanjut, maka konsumen dari negara maju akan terus menahan konsumsinya, yang pada akhirnya akan menurunkan aggregate demand dan memperlambat perutmbuhan.

Dengan masih lesunya pertumbuhan dan perdagangan, maka diperkirakan tahun hingga akhir 2016 pertumbuhan perekonomian masih akan terus melambat. Faktor eksternal lain yang perlu jadi perhatian adalah efek pemilu Amerika yang memberikan sedikit guncangan terhadap IHSG dan nilai tukar, serta rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga pada bulan Desember.

Outlook Perekonomian Global 2017

Berdasarkan proyeksi yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2017 mengalami sedikit kenaikan menjadi 3,4 persen, dimana proyeksi untuk negara-negara maju dan berkembang berturut-turut sebesar 1,8 persen dan 4,6 persen. Menariknya, proyeksi IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi China masih akan mengalami perlambatan, dari 6,6% menjadi 6,2%, sedangkan India diperkirakan stagnan pada 7,6%. Hal yang sama juga terjadi pada negara berkembang di Eropa dan Amerika Latin yang diperkirakan berturut-turut hanya tumbuh 3,1% dan 1,6%. Asean-5 diperkirakan akan mampu mendongkrak pertumbuhan negara maju, dimana diperkirakan akan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 4,8% menjadi 5,1%.

Ancaman pertumbuhan pada tahun 2017 bersumber pada dua hal, pertama slowdown dari perekonomian China, kedua stagnasi di negara maju. Perekonomian China yang selama satu dekade terakhir mendukung perekonomian global terus mengalami perlambatan. Semakin berkurangnya ketergantungan China pada barang impor dan investasi pada sektor yang resource-intensive membuat permintaan global mengalami tekanan. China mencoba mengubah basis pertumbuhannya yang selama ini mengandalkan investasi, industry dan ekspor menjadi perekonomian yang lebih ditopang oleh konsumsi dan jasa, akan tetapi upaya ini masih belum begitu sukses. Selain itu, upaya perubahan struktur tersebut tentu akan semakin melemahkan pertumbuhan global, karena selama ini investasi dan industry China membuat permintaan akan permesinan dan komoditas global meningkat. Permasalahan pada semakin tingginya credit to GDP dan progress yang lambat dalam mengantisipasi membesarnya hutang korporasi. Semakin besarnya hutang korporasi, ditambah menurunnya tingkat keuntungan perusahaan, dan lemahnya balance sheet perbankan, menyebabkan perekonmian China rawan akan sudden shift (IMF, 2016).

Stagnansi yang terjadi di negara maju sudah sedemikian mengkhwatirkannya. Lemahnya permintaan, menyebabkan pertumbuhan semakin lambat yang pada akhirnya membuat inflasi semakin rendah. Rendahnya inflasi pada periode yang terlalu panjang, membuat ekspektasi inflasi menjadi semakin rendah, dan pada akhirnya membuat real interest rate menjadi tinggi dan spending semakin turun.

Amerika sedikit banyak menjadi ancaman tersendiri bagi perekonomian dunia, salah satunya dalam bentuk Donald Trump. Kekhawatiran dunia akan berbagai kebijakan yang sudah dijanjikan selama masa kampanye, membuat dunia khwatir akan masa depan Amerika di tangan Donald Trump. Hal ini nampak dari meningkatnya US 10-Year Bond Yield sesaat setelah Trump diumumkan, dari awalnya 1,7 persen (9/11) menjadi 2,2 persen (17/11). Khusus untuk negara berkembang, semenjak Trump terpilih, dilaporkan dana yang keluar dari negara berkembang mencapai USD 7 Miliar (The Economist, 2016).

Setidaknya, terdapat tiga hal utama yang membuat dunia khawatir akan Amerika di bawah Trump. Mari kita asumsikan bahwa Trump akan konsisten menjalankan semua kebijakan yang dia janjikan selama kampanye, maka akan tiga implikasi yang patut dikhawatirkan. Pertama, intervensi terhadap kebijakan moneter. Kedua, defisit fiskal, dan ketiga proteksionisme ala Trump.

Pertama, terkait intervensi moneter, Trump dengan keras mengkritik kebijakan moneter longgar yang selama ini dilakukan oleh The Fed, dan nampaknya Trump akan menancapkan kuku kekuasaannya pada pemilihan kepala The Fed yang baru (tahun 2018). Menariknya, belum lama The Fed, untuk kesekian kalinya, kembali mengeluarkan sinyal untuk menaikkan suku bunga. Apabila kebijakan moneter dilonggarkan secara drastis, sebagaimana yang diinginkan Trump, maka implikasinya akan besar. Kebijakan moneter longgar (dengan rendahnya tingkat suku bunga), diambil oleh The Fed dengan harapan dapat menunjang pertumbuhan. Akan tetapi, kebijakan ini memang memiliki kelemahan, salah satunya adalah menggelumbangnya harga aset (asset price).

Saat ini, equity price di Amerika, apabila dihitung dengan PE Ratio of S&P 500, sudah 60% di atas harga rata-rata sepanjang sejarah (historical price) (Feldstein, 2016).  Rumah tangga di Amerika memegang USD 21 Triliun dari equity, yang artinya guncangan terhadap harga aset akan sangat mempengaruhi daya beli masyarakat Amerika. Hal ini yang pada dasarnya membuat The Fed sangat hati-hati dalam menaikan suku bunganya, terakhir mereka hanya berani meningkatkan sebesar 25 basis poin.

Naiknya suku bunga akan membawa implikasi lain, yaitu menguatnya dollar. Menguatnya dollar setidaknya memiliki dua dampak, pertama akan menurunkan daya saing sektor manufaktur di Amerika. Kedua, akan berdampak terhadap perusahaan di luar Amerika. Ketika Dollar dan suku bunga rendah, perusahaan di luar Amerika cenderung meminjam dengan menggunakan Dollar. Apabila Dollar mendadak meningkat, maka perusahaan-perusahaan tersebut akan kesulitan membayar beban hutangnya yang pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan banyak negara di dunia.

Kedua, terkait defisit anggaran. Trump menjanjikan akan menjalankan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Stimulus fiskal diarahkan kepada dua hal, pertama pembangunan infrastruktur, kedua pemotongan pajak. Langkah pembangunan infrastruktur sebenarnya tepat, mengingat Amerika mengalami shortage dalam investasi infrastruktur. Diperkirakan Amerika membutuhkan USD 2,3 Triliun selama satu dekade ke depan untuk memperbaiki infrastrukturnya.

Permasalahannya adalah, Trump juga menjanjikan stimulus fiskal dalam bentuk pemotongan pajak. Trump berencana, salah satunya memotong corporate tax menjadi 15 persen. Kebijakan ini pada dasarnya sangatlah mahal dan dapat membebani anggaran Amerika sebesar USD 7 Triliun selama satu dekade ke depan. Kebijakan ini tentu akan meningkatkan defisit anggaran dan total utang Amerika. Pemerintah Amerika akan melepas lebih banyak obligasi, yang dalam jangka pendek akan crowding out private investment dengan menambah beban pembiayaan sektor swasta. Sedangkan dalam jangka panjang akan meningkatkan suku bunga Amerika.

Ketiga, terkait proteksionisme ala Trump. Trump berulang kali menyajikan retorika proteksionisme. Mengancam akan meningkatkan tarif untuk China maupun membatalkan TPP. Kemungkinan Trump melakukan perang dagang dengan China memang kecil, mengingat China memegang setengah dari defisit perdagangan Amerika. Selain itu, apabila Amerika akan menutup diri, hal tersebut akan menghantam konsumen Amerika, terutama kelas menengah bawah yang selama ini diuntungkan dengan produk impor yang lebih murah. Sehingga, apabila Amerika menutup diri, kenaikan harga barang tidak terhindarkan, dan membuat daya beli masyarakat semakin lemah, aggregate demand menurun, sehingga pertumbuhan ekonomi akan jalan di tempat.

Apabila pada tahun 2017 Amerika benar-benar menutup diri, maka ini akan menjadi pukulan telak bagi perdagangan global yang sudah sedemikian tertekan pada tahun 2016. IMF memperkirakan volume perdagangan global akan rebound pada tahun 2017, dimana meningkat dari 2,3% menjadi 3,8%. Akan tetapi, prediksi tersebut akan sulit terealisasi apabila terjadi perang dagang antara Amerika dan China.

Tidak hanya terkait perdagangan, proteksionisme Trump juga mengalir ke isu imigrasi dengan mengancam akan mendeportasi 12 juta tenaga kerja imigran yang tidak memiliki dokumen, maupun mendirikan tembok di perbatasan dengan wilayah Mexico. Kebijakan seperti ini tentu dapat semakin mencederai perekonomian Amerika. 12 juta tenaga kerja itu merupakan 5% dari total tenaga kerja. Apabila jumlah sebesar itu hilang, maka akan ada shortage di pasar tenaga kerja, yang membuat tingkat gaji akan meningkat. Apabila beban gaji semakin besar, hal tersebut tentu akan merugikan produsen di Amerika.

Daya beli menjadi kunci

Pada dasarnya, Pemerintah sudah berusaha untuk mendorong pertumbuhan, salah satunya dengan mengeluarkan 14 paket kebijakan perekonomian. Permasalahannya, sebagian besar dari paket-paket tersebut hanya membicara sisi penawaran (supply side) dari perekonomian. Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan untuk mendorong sisi permintaan (demand side).

Lesunya pertumbuhan Indonesia disinyalir akibat melemahnya permintaan. Angka pengangguran yang tinggi, kedalaman kemiskinan yang semakin parah semakin menggerus daya beli masyarakat. Hal tersebut tentunya akan membuat produsen lebih hati-hati dalam memproduksi barang. Karena, mereka akan rugi apabila barang yang diproduksi tidak ada yang membeli.

Kebijakan sisi penawaran memang dibutuhkan. Dalam salah satu tulisannya, Muhammad Chatib Basri mengatakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan 6 persen, dibutuhkan rasio investasi/PDB sebesar 38,4-39,6 persen, padahal saat ini rasio tabungan domestic/PDB hanya 30-31 persen. Untuk mencapai hal tersebut, menurut Chatib Basri, dapat dilakukan dengan menarik arus modal dari luar negeri guna menutupi kekurangan tabungan domestik, atau dengan melakukan efisiensi dalam produksi. Peningkatan efisiensi dalam produksi ini artinya dengan nilai investasi yang sama, output yang dihasilkan dapat lebih besar. Untuk meningkatkan efisiensi produksi, langkah-langkah seperti perbaikan regulasi, penyederhanaan perijinan, dan pembanguna infrastruktur merupakan langkah yang tepat.

Akan tetapi, sisi penawaran tersebut tidak lah cukup, karena efeknya baru akan terasa dalam jangka panjang. Pemerintah perlu mendongkrak permintaan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dari Rp 36 juta/tahun menjadi Rp 54 juta/tahun dapat menjadi langkah awal yang baik. Pemerintah bisa melakukan stimulasi fiskal lebih lanjut dengan mendorong program cash transfer atau menjalankan program pembangunan infrastruktur yang berbasiskan sumberdaya lokal.

Selama dua dekade terakhir, International Labor Organization (ILO) mendorong adanya local resource based (LRB) dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pada kerangka ini, Pembangunan infrastruktur melibatkan semaksimal mungkin potensi masyarakat lokal, baik itu tenaga kerja maupun bahan baku infrastruktur. Pendekatan LRB relatif lebih labour intensive dibandingkan pendekatan pembangunan infrastruktur tradisional, karena misi utama dari pendekatan ini adalah penyerapan tenaga kerja.

Pendekatan ini bisa menjadi alternatif Pemerintah Indonesia untuk mendongkrak daya beli masyarakat, sekaligus membuka lapangan pekerjaan, terutama di daerah yang relatif terpencil. Berdasarkan evaluasi yang dilaukan ILO dalam penerapan LRB disejumlah negara, terdapat tiga keuntungan metode ini. Pertama, secara umum proyek lebih murah 10-30% dibandingkan menggunakan metode yang lebih memakai banyak peralatan. Kedua, menurunkan penggunaan foreign exchange hingga 50%. Ketiga, menciptakan tiga hingga lima pekerja lebih banyak dengan nilai investasi yang sama dibandingkan dengan menggunakan pendekatan tradisional.

 

 

Leave a comment