Infrastruktur merupakan momok utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Buruknya infrastruktur menyebabkan high cost economy yang pada akhirnya membuat konsumen tidak dapat menikmati harga murah dan menyebabkan daya saing Indonesia menjadi rendah. Diperkirakan biaya logistik di Indonesia mencapai 27% dari nilai PDB, padahal rata-rata negara maju dan berkembang hanya sebesar 10% dari PDB. Hal inilah yang meyebabkan produk Indonesia sulit berkompetisi dengan produk dari negara lain.

Tahun 2012 adalah tahun penuh tantangan dan harapan dalam pembangunan infrastruktur. Penulis menilai terdapat 2 hambatan, 3 harapan, 2 pekerjaan rumah pada pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya pada tahun 2012.

2 Hambatan

Ada dua hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur, pertama ketersediaan lahan, kedua keterbatasan anggaran. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan. Seperti mangkraknya proyek 24 ruas jalan tol di Jakarta.

Kedua adalah masalah pendanaan. Membangun infrastruktur tentunya butuh dana, dan mustahil bagi pemerintah untuk menyediakan anggarannya. Menurut RPJMN 2010-2014, kebutuhan dana pembangunan infrastruktur mencapai Rp 1.924 Triliun. Yang bisa disediakan oleh pemerintah (APBN) hanyalah Rp 560 Triliun, APBD sebesar Rp 355 Triliun. Swasta dan BUMN diperkirakan mampu menyediakan Rp 685 Triliun, itupun masih ada gap Rp 323 Triliun.

3 Harapan

Menyambut tahun 2012, ada harapan besar yang dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Pertama, adanya komitmen pemerintah melalui MP3EI. Kedua, disahkannya UU Pengadaan Lahan Untuk pembangunan Bagi Kepentingan Umum. Ketiga, dinaikkannya status Indonesia menjadi investment grade oleh Finch.

Pemerintah berkomitmen untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur melalui MP3EI. Tidak tanggung tanggung, hingga tahun 2014, nilai investasi untuk infrastruktur (baik pemerintah, swasta, dan BUMN) ditargetkan mencapai Rp.1700 Triliun. Komitmen inilah yang harus terus kita tagih ke Pemerintah.

Terselesaikannya UU Pengadaan Lahan diharapkan dapat menuntaskan permasalahan lahan yang menghantui Indonesia selama ini. Dalam UU ini diatur empat proses pengadaan lahan, yaitu perencanaan, pengadaan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Menurut hasil kalkulasi penulis, lama waktu yang ditargetkan oleh UU ini untuk membebaskan lahan paling cepat 238 hari, dan paling lama (dengan estimasi ada keberatan dari pemilik lahan) mencapai 512 hari. Hal ini tentunya cukup melegakkan karena selama ini untuk pembebasan lahan untuk proyek jalan tol membutuhkan waktu 4-5 tahun.

Finch baru saja menaikkan grade Indonesia menjadi investment grade (BBB-). Diharapkan kenaikan ini dapat memperderas arus modal asing ke Indonesia. Derasnya arus modal asing ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya untuk membiayai proyek PPP (public private partnership). Saat ini terdapat 79 proyek PPP  infrastruktur senilai US$ 59 Miliar di Indonesia, dimana 13 diantaranya dalam status “ready for offer projects” (PPP Book 2011, Bappenas). Jika modal asing bisa diarahkan untuk membiayai proyek-proyek ini, tentunya akan sangat menopang upaya percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

2 pekerjaan rumah

Untuk mempercepat keseluruhan proyek infrastruktur di Indonesia, setidaknya ada dua pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pertama, segera menyelesaikan Peraturan pelaksana dari UU Pengadaan lahan. Pengesahan UU Pengadaan Lahan merupakan langkah maju, akan tetapi pengesahan UU ini akan sia-sia apabila pemerintah tidak segera menerbitkan peraturan pelaksana untuk menunjang UU ini. Seringkali Pemerintah lambat dalam menerbitkan peraturan pelaksana sebuah UU, sebut saja UU Kawasan Ekonomi Khusus yang diterbitkan tahun 2009 tapi peraturan pelaksananya baru diterbitkan tahun 2011.

Kedua, perbaikan dari skema PPP. Agar partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur bisa meningkat, maka skema PPP di Indonesia harus disempurnakan. Perbaikan skema PPP bisa dimulai dari memperbaiki pipeline creation (penyusunan daftar proyek) dari PPP. Dalam hal pipeline creation komitmen pemerintah masih dipertanyakan. Contohnya, dalam PPP Book 2011 yang diterbitkan oleh Bappenas, proyek pembangunan Monorail Jakarta dicantumkan sebagai proyek yang “already tendered”. Tapi, seperti yang kita tahu, Gubernur DKI Jakarta justru membatalkan proyek tersebut. Hal ini tentunya harus dievaluasi pemerintah, agar penetapan proyek PPP dilakukan dengan lebih baik.

Hal lain yang bisa menjadi inisiatif baru pemerintah, untuk menopang skema PPP, adalah dengan menggunakan skema viability gap fund (VGF). VGF adalah skema bantuan pendanaan dari pemerintah, dimana pemerintah mensubsidi funding gap agar suatu proyek secara ekonomi feasibel. Di India, sudah marak dilakukan, dimana pemerintah bisa memberikan subsidi hingga maksimal senilai 20% dari biaya proyek. Hingga saat ini pemerintah India sudah memberikan VGF kepada 73 proyek sebesar US$ 1,92 Miliar. Adanya VGF diharapkan dapat meningkatkan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Infrastruktur selama ini menjadi hantu dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dan hantu ini akan selamanya menggentayangi perekonomian apabila pemerintah tidak menjalankan komitmennya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Apabila percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia berjalan lancar, maka mimpi memiliki pendapatan perkapita US$ 14.500 di tahun 2025 dapat tercapai.

Leave a comment