Infrastruktur akan menjadi isu utama yang dihadapi oleh Presiden baru. Hal ini tercermin dari tingginya biaya logistik Indonesia mencapai 25,2% dari PDB, sangat besar apabila dibandingkan dengan Singapura yang sebesar 14% dari PDB. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa terjadi tren kenaikan biaya logistik, dimana pada tahun 2011 biaya logistik “hanya” 23,4% dan melonjak tajam menjadi 25,2% di tahun 2014. Hal tersebut merupakan akumulasi dari berbagai permasalahan infrastruktur seperti dwelling time Tanjung Priok yang meningkat dari 3 hari ditahun 2011 menjadi 9 hari di tahun 2013, atau kenyataan bahwa lebih dari 40% jalan Provinsi dan 50% jalan Kabupaten dalam kondisi rusak.
Pemerintahan baru tidak perlu mengganti semua kebijakan, akan tetapi cukup meneruskan warisan yang dipandang masih relevan dan melakukan perbaikan disejumlah bidang. Presiden SBY, pada dasarnya, meninggalkan sejumlah warisan berharga yang tentunya dapat menjadi pijakan bagi Presiden Jokowi nantinya. Walaupun masih banyak problematika, selama 10 tahun tentu terdapat sejumlah capaian dalam pembangunan infrastruktur. Hal tersebut tercermin dari melonjaknya peringkat infrastruktur Indonesia di Global Competitiveness Indicators, dari 84 (2009) menjadi 61 (2014). Oleh sebab itu, perlu dilihat, mana warisan yang baik dan dapat dilanjutkan dan tantangan apa yang akan dihadapi oleh Presiden Jokowi. Dalam konteks ini, penulis menyoroti dari dua warisan dan tantangan utama dalam pembangunan infrastruktur, pertama terkait dengan pembiayaan, kedua, permasalahan pembebasan lahan.
Inovasi Pembiayaan
Secara umum, jumlah investasi infrastruktur masih jauh dari ideal. Sejumlah penelitian membuktikan, untuk mempertahankan pertumbuhan tinggi, setidaknya total investasi infrastruktur (Pemerintah dan non Pemerintah) harus setaraf dengan 5% PDB, sedangkan investasi infrastruktur yang dilakukan selama era SBY berkisar antara 3-4% dari PDB. Investasi infrastruktur Indonesia masih sangat tertinggal apabila dibandingkan dengan India yang mencapai 7% PDB dan China yang mendekati 12% PDB. Walaupun begitu, perlu diapresiasi bahwa ada komitmen untuk meningkatkan alokasi infrastruktur di APBN, dimana pada tahun 2005 hanya dialokasikan Rp 26,1 Triliun dan melonjak tajam di tahun 2013 yang mencapai Rp 203 Triliun atau mengalami peningkatan 680%. Hal tersebut juga nampak dari meningkatnya share alokasi APBN terhadap PDB, dimana pada tahun 2005 hanya sebesar 0,9% PDB, di tahun 2013 mencapai 2,3% PDB.
Presiden SBY meletakkan dasar yang kokoh dalam pembiayaan infrastruktur. Melalui Perpres No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Peyediaan Infrastruktur, Presiden SBY memperkenalkan skema Public Private Partnership (PPP) dalam pembangunan infrastruktur. Skema ini membuka peluang swasta untuk turut dalam membangun infrasturktur, mengoperasikannya, dan mengembalikan infrastruktur tersebut ke Pemerintah (Built-Operate-Transfer).
Pemerintahan SBY meletakkan dasar yang kuat dalam skema dukungan fiskal Pemerintah untuk proyek PPP. Ada tiga tahap utama dalam pelaksanaan proyek, yaitu persiapan-tender-implementasi. Pada tahap persiapan, diperkenalkan project development facility (PDF), yang menyediakan dana berputar (revolving fund) untuk pembuatan studi kelayakan dan persiapan. Selain itu terdapat pula land revolving fund dan land capping guna mendukung dalam proses pembebasan lahan. Pada tahap tender sudah diperkenalkan skema penjaminan melalui Badan Usaha Penjamin Infrastruktur (BUPI) yang dapat memberikan jaminan atas sejumlah resiko investor, seperti demand risk dan lainnya. Pada tahap implementasi, Pemerintah mendirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan anak perusahannya PT Indonesia Infrastructure Fund (IIF) yang dapat mendukung dalam hal pembiayaan.
Keterbatasan anggaran membuat presiden Jokowi nantinya harus menciptakan inovasi pembiayaan infrastruktur. Pada periode 2015-2019, kebutuhan infrastruktur diperkirakan di atas Rp 4.500 Triliun, dimana diperkirakan hanya 30% yang dapat disediakan oleh APBN dan APBD. Guna mengembangkan pembiayaan infrastruktur, terdapat tantangan yang dihadapi oleh Presiden baru. Pertama terkait inflasi dan mismatch pendanaan. Pembangunan infrastruktur merupakan proyek bernilai besar dan jangka panjang. Agar proyek tersebut feasible, maka swasta ataupun BUMN harus mendapatkan bunga yang kompetitif. Hal ini sulit disediakan oleh perbankan di Indonesia karena suku bunga acuan tinggi yang disebabkan oleh tingginya inflasi dan rendahnya rating kredit. Selain itu, terdapat mismatch pendanaan dimana perbankan dalam negeri masih mengandalkan sumber pendanaan dari dana deposito yang bersifat jangka pendek.
Langkah yang dapat diambil, khususnya dalam hal mengatasi mismatch pembiayaan adalah Pemerintah memberikan dukungan pendanaan, dengan mengalokasikan dana jangka panjang untuk dikelola oleh Bank BUMN. Dana-dana tersebut dapat berupa dana abadi, dana BPJS, ataupun dana lainnya yang bersifat jangka panjang. Banyak yang menyarankan untuk mendirikan Bank Infrastruktur yang nantinya mengelola dana jangka panjang tersebut. Akan tetapi, perlu diingat untuk mendirikan Bank, selain mencukupi likuiditasnya diperlukan juga kecukupan ekuitas. Dimana untuk mencapai tersebut Pemerintah harus berinvestasi dengan jumlah yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, lebih baik apabila dana-dana jangka panjang tersebut dikelola oleh sejumlah Bank BUMN untuk disalurkan kepada proyek infrastruktur.
Tantangan kedua adalah memperkuat pembiayaan APBN untuk proyek infrastruktur. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ruang gerak fiskal Pemerintahan yang baru akan sangat terbatas. Oleh sebab itu, perlu dicari alternatif pembiayaan untuk APBN guna mendukung proyek infrasturktur. Alternatif pertama adalah obligasi infrastruktur. Kelebihan dari obligasi adalah Pemerintah dapat mengumpulkan dana dalam waktu cepat, dan bersifat jangka panjang. Kelemahannya adalah bunga obligasi yang relatif tinggi, yang mencapai 8-9%. Alternatif berikutnya adalah dengan skema loan luar negeri. Skema ini cukup ideal, mengingat bunganya yang rendah, hanya berkisar 1-1,5%, akan tetapi akan banyak pertimbangan geopolitik sebelum memilih skema ini.
Alternatif lain adalah menggunakan skema availibity payment. Dimana dengan skema ini, infrastruktur akan dibangun oleh pihak swasta pemenang tender, dimana biaya pembangunan akan sepenuhnya ditanggung oleh swasta. Setelah infrastruktur dioperasikan, maka Pemerintah akan memberikan imbal balik selama periode konsesi. Berbeda dengan skema PPP dimana pihak swasta akan mendapat pemasukan dari keuntungan hasil operasionalisasi infrastruktur, dengan skema availibity payment pihak swasta akan mendapat pemasukan dari pembayaran tahunan Pemerintah, sedangkan keuntungan hasil operasionalisasi infrastruktur akan masuk ke kas Pemerintah. Keuntungan dari skema ini adalah pihak swasta terhindar dari demand risk, dan Pemerintah terhindari dari construction risk. Skema ini mulai dijalankan disejumlah negara, seperti India dan meraih kesuksesan.
Percepatan Pembebasan Lahan
Lahan merupakan kendala utama dalam pembangunan infrastruktur. Terobosan besar pada Pemerintahan SBY adalah disahkannya UU No.2/2012 tentang Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, dan peraturan pelaksananya seperti Perpres 71/2012 dan Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Kepala BPN. Adanya regulasi tersebut membuat pelaksanaan pembebasaan lahan lebih berkeadilan bagi pemilik lahan maupun bagi pihak yang membutuhkan lahan. Selain itu, diatur pula waktu pelaksanaan pembebasan lahan, dimana paling cepat tanpa adanya banding selama 319 hari dan paling lama apabila ada banding 583 hari. Adanya batasan waktu ini membuat proses pembebasan lahan lebih terukur dan pasti. Tantangan ke depan adalah meningkatkan kapasitas BPN, karena BPN adalah ujung ombang pembebasan lahan. Selain itu, perlu ada koordinasi yang kuat antar instansi dalam hal pembebasan lahan, agar proses tersebut dapat berjalan dengan baik.
Pembangunan infrastruktur adalah proses panjang dan berkelanjutan. Butuh kesinambungan kebijakan antar Pemerintahan agar memberikan kepastian bagi pelaksana proyek, baik Pemerintah, BUMN maupun swasta. Pemerintahan lama menyisakan berbagai warisan positif dan tantangan yang tentunya dapat menjadi acuan bagi Presiden yang baru. Dengan adanya kesinambungan, maka proses pembangunan infrastruktur diharapkan dapat semakin dipercepat.